Jumat, 04 Mei 2012

PERSIS DAN POLITIK


Tiar Anwar Bachtiar M. Hum,
(Ketua Umum PP Pemuda Persis)
            Apa yang sebenarnya menjadi paradigm dan cita-cita politik yang diusung oleh Persatuan Islam (Persis)? Pertanyaan yang sampai saat ini masih harus terus dicarikan jawabannya, berbeda dengan organisasi yang orientasi politiknya tegas seperti Hizbu-Tahrir dan Gerakan Tarbiyah.[1]
Persoalan orientasi dan wacana politik dalam kedua gerakan tersebut memang menjadi sesatu yag sehari-hari diperbincangkan. Bahkan, bagi kedua gerakan tersebut seluruh aktivitas dakwah muara akhirnya harus didedikasikan untuk kemenangan politik dalam definisindan konsep masing-masing.[2]
Kedua gerakan di atas pun cenderung menganggap gerakannya sudah sangat komperhensi-dengan orientasi politik yang dijadikan panglimanya-sehingga seringkali merasa tidak memerlukan gerakan yang lain sebagai komplemen. Kecenderungan ini seringkali menganggap organiasasi yang lain tidak sempurna dalam gerakannya dan cenderung mudah bergeseekan dengan organisasi sejenis. Pada saat yang sama sulit membangun sinergitas gerakan dalam konteks “mitra-sejajar” dengan organisasi yang telah ada lebih dahulu.
            Mengapa dalam kasus ormas-ormas seperti Persis, persoalan politik tidak menjadi wacana dan gerakanyang inhern dalam dirinya sehingga harus aga ‘bekerja keras’ untuk mengetahui orientasi politiknya? Ada dua alas an pokok. Pertama alas an motif kelahiran. Ormas-ormas Islam yang lahir pada abad ke-20 seperti Persis, Muhamadiyah, Nahdatul-Ulama, Al-Irsyad, Sarekat Islam,[3] Al-Ittihad Islamiyah (AII), Persarikatan Ulama, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan semisalnya tidak lahir sebagai respon politik atas kondisi sezaman, kecuali sedikit dalam kasus Sarekat Islam. Ormas-ormas ini lahir dalam konteks pergulatan pemikiran keagamaan, dakwah, dan problem social yang tengah dihadapi masyarakat Indonesia yang saat itu sedang terjajah. Oleh sebab itu, orientasi politiknya memang tidak terlihat langsung. Sementara ormas yang ideology dan rumus geraknya ‘diimpor’ dari Mesir (Tarbiyah, Ikhwanul Muslimin) dan Libanon (Hizbut-Tahrir) itu, berdiri sebagai respon langsung atas runtuhnya supermasi politik Islam di Turki dengan dihapusnya kekhalifahan Turki Utsmani oleh Mustafa Kemal Pasha Ataturk pada Maret 1924.
            Kedua, sepanjang sejarah gerakan organisasi Islam di Indonesia, persoalan-persoalan politik dibagi-perankan dengan organiasi yang lain yang sering disebut sebagai “partai” seperti Partai Sarekat Islam, Partai Islam Indonesia, Partai Arab Indonesia, Partai Masyumi, Partai Tarniyah Islamiyah, Partai Nahdatul Ulama dan sebagainya. Dalam konteks ini, biasanya setiap organisasi akan menyetujui konsep politik dari setiap partai yang didukungnya. Persis, Muhamadiyah, AII, dan Persyarikatan Ulama yang menjadi eksponen utama Masyumi dari kalanan organisasi masa Islam memiliki persetujuan penuh terhadap visi politik Masyumi dengan semua paradigma politik yang digunakannya. Ada pula ormas yang kemudian mengubah diri menjadi partai seperti dalam kasus Sarekat Islam, Perti, NU. Akan tetapi, secara paradigma dasar bergerakan dan berorganisasi tidak terlampau beda dengan yang lain. Ini terbukti setelah gerakan politik mereka terus tergerus semuanya oleh kekuatan Orde Baru, mereka kemali menjadi ormas non-politik.
            Melihat pada posisi masing-masing ormas ini sepanjang sejarahnya, bisa disimpulkan bahwa setiap gerakan ini berfokus pada sebagian bidang, sementara bagian yang lain diserahkan pada gerakan lain. Oleh sebab itu, sangat dimungkinkan berdiri organisasi lain yang orientasinya berlainan akan mendapat dukungan. Bila ada yang secara khusus mengarjakan urusan politik, maka ormas-orams ini akan ikut mendukung. Bila ada yang bergerak khusus dalam bidang ekonomi, maka juga akan ada dukungan. Bahkan saat ada yang secara khusus bergerakan dibidang pemikiran kontemporer yang belum dikerjakan oleh ormas-ormas ini, juga akan ccenderung didukung. Oleh sebab itu pula, sebetulnya ormas-ormas dengan paradigma gerakan  yang hamper sama ini relative lebihmudah bersinergi dibandingkan dengan organisasi yang lahir dalam konteks yang berbeda dan paradigma yang berbeda pula.
            Persis pun rupanya lahir dalam konteks yang tidak jauh berbeda dengan ormas yang lain. Persis lahir sebagai salah satu organisasi yang berkonsentrasi pada kajian pemikiran ke-Islaman dan penyebarluasannya melalui media masa popular sehingga dapat dinikmati oleh khalayak umum. Pada perkembanganya, Persis lebih mamilih bidang dakwah (bil-lisan dan  bil-kitabah) dan pendidikan untuk memperluas aktivitas awalnya.
            Disadari sejak awal bahwa Persis bukan gerakan yang menggarap semua bidang. Oleh sebab itu, Persis akan cenderung mendukung gerakan (organisasi) lain yang mengerjakan hal berbeda. Bahkan , dalam beberapa hal banyak organisai lainpun banyak yang mempercayakan pada persis mengenai hal-hal tertentu yang menjadi “spesialis” Persis. Misalnya, ini terjadi ketika Persis pertama kali mengungkap kesesatan Ahmadiyah tahun 1930-an. Organisasi lain yang tidak mendalami masalah dan bidang ini, menyerahkan kepada Persis untuk menjadi ketua komisi aliran sesat pada kongres Al-Islam pada tahun 1941. Demikian pula, Persis dengan sukarela akan mendukung gerakan yang bergerak pada bidang berbeda, tapi visinya sama-sama ingin menegakkan dînullâh.
Disini pula kita dapat memaklumi mengapa dalam hal politik, terutama yang bersifat praktis, Persis mempercayakan kepada Masyumi yang memang didirikan sebagai partai politik Islam yang bertujuan mewadahi kepentingan-kepentinga umat Islam di Indonesia. Persis secara umum setuju dengan pemikiran dan agenda-agenda politik Masyumi, sekalipun dalam beberapa hal tentu saja ada perbedaan pandangan dan pemikiran. Akan tetapi, secara umum Persis mendukung sepenuhnya semua kebijakan yang diambil Masyumi dalam bidang politik.
            Bila demikian, bagaimana sesungguhnya pandangan Persis sendiri mengenai politik yang pada tataran praktisnya diserahkan kepada Masyumi? Sekalipun sebetulnya dengan melihat keterlibatan Persis di Masyumi. Akan tetapi, sebagai bahan perenungan bagi generasi-generasi Persis dimasa berikutnya ada baiknya beberapa pokok pikiran Persismengenai politik dapat dijelaskan secara sangat ringkas berikut ini.
            Pertama, masalah Persis dan doktrin politik Ahlus-Sunnah wal-Jamaah. Dalam hal ini Persis yang sangat rigid berpegang pada formulasi-formulasi fiqih, tidak jauh berbeda dengan gerakan Ahlus-Sunnah manapun, yaitu memiliki kewajiban dan keharusan mengangkat pemimpin bagi kaum muslimin dari kalangan kaum muslimin sendiri. Persis tidak meyakini Imâmah seperti yang diyakini Syi’ah. Persis percaya bahwa proses pengangkatan pemimpin sepenuhnya bergantung pada proses pemilihan yang tekhnisnya diserahkan sepenuhnya kepada umat, bukan pada wasiat dari Rasulullah saw. sebagaimana yang diyakini oleh Syi’ah.
            Kedua, Persis dan masalah khilafah. Mengenai masalah khilafah ini, pemikiran Persis sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh Rasyid Ridha melalui majalah Al-Urwatul Wutsqa yang dilanggan oleh A. Hasan. Bagi Persis, mendirikan suatu kekhalifahan yang melampaui batas-batas nasional adalah suatu yang mutlak harus dilakukan. Ia menolak paham nasionalisme yang akan mengkotak-kotakan negri muslim. Kecenderungan ini disebut sebagai kecenderungan pada Pan-Islamisme.[4]
            Kecenderungan Persis kepada Pan-Islamisme memang jelas. Misalnya hal ini diperlihatkan dalm berita-berita majalah Al-Lisan, majalah resmi Persatuan Islam pada tahun 1930-an, yang member dukungan kepada gerakan-gerakan yang ingin merivitalisasi kembali kekhalifahan Turki Utsmani. Misalnya dalam salah satu edisinya dimuat tentang kongres Islam Eropa tanggal 12 September 1935 yang diprakarsai oleh Amir Syakib Arsalan. Dalam kongres itu antara lain diputuskan tentang ajakan kepada umat Islam diseluruh dunia untuk bersatu kembali membangun kekuatan setelah Turki Utsmani runtuh. (Al-Lisan, No. 1, 27 Desember 1935: 25)
            Ketiga, Persis dan sikapnya terhadap Republik Indonesia. Sekalipun persis menolak nasionalisme sebagaimana terlihat dalam polemic-polemik Soekarno dengan Natsir dan A. Hasan, namun tidak berarti pada saat yang sama Persis menjadi antipasti terhadap berdirinya Republik Indonesia. Sebab, bagi Persis berdirinya Republik Indonesia adalah sebuah realitas yang tetap harus dihadapi. Bahkan, sekalipun kekhalifahan berdiri, tetap saja orang-orang di wilayah Indonesia akan lebih banyak mengurusi wilayah yag sekarang menjadi wilayah NKRI.
            Persis lagi-lagi setuju dengan pendapat Rasyid Ridha mengenai realitas bahwa negeri-negeri kaum muslimin akhirnya mendirikan negara masing-masing. Rasyid idha mengatakan:
            Inilah penjelasan paling mengena tentang kebolehan banyak pemimpin (ta’addud) karena darurat. Dia merupakan ijtihad yang tepat sama seperti ijtihad sebagian ulama tentang bolehnya menyelenggarakan beberapa majelis jum’at di satu negeri… hukum asalnya didalam syari’at memiliki tujuan yang sangat baik dalam berkumpul penduduk ini.jika ada beberapa perkumpulan jum’at, maka yang sah hanya yang telah terdahulu, sedangkan yang belakangan tidak sah. Ketika sudah diketahui sisuatu masjid sudah didirikan jum’at, maka tidak boleh didirikan jum’at di masjid itu ataupun di masjid yang lain di negeri itu. Siapa yang mendirikannya lagi, makashalatnya batal dan mereka semua berdosa; dan kewajiban shalat dzuhur pun belum gugur dari mereka. Diperbolehkan ada beberapa majelis jum’atkarena terpaksa sesuai dengan kadarnya, namun keadaanya sangat dilarang dalam keadaan normal. (Rasyid Ridha, Al-Khilafah. Dar El-Kutub Al-‘Ilmiyyah.1994: 58).
Kesetujuan terhadap pandangan tersebut tercermin dari tulisan A. Hasan:
            Yang dilarang oleh agama ialah mengurus suatu negeri atau mengajak orang lain pada mengurusnya secara kebangsaan, akni secara yang diatur sendiri oleh satu-satu bangsa dengan tidak mengambil tahu wet-wet Islam, sebagaimana Turki dan Irak, yang Tuan Soekarno jadikan Iman.
                Adapun mencintai suatu negeri dan mengajak yag lain mencintainya, sebagai bukti kecintaan itu dengan bekerja sendiri, atau membantu usaha orang-orang yang berkerja supaya negeri tersebut terurus dengan cara dan wet Islam itu, tidak terlarang, malah terpuji, terpuji sangat, bahkan suatu kewajiban atas tiap-tiap muslim (A. Hasan, Islam dan Kebangsaan. Pesantren Persis Bangil, 1984: 71).
Dari sana, kita dapat memahami dengan baik mengapa Persis mendukung Masyumi yang menjadi salah satu eksponen utama dalam membidani lahirnya Republik ini.
            Dalam konteks ini, sesungguhnya pemikiran Persis tidak jauh berbeda dengan kelompok Trabiyah ikhwani yang juga mencita-citakan berdirinya kekhalifahan sebagai symbol jamâ’atul-muslimin (Persatuan Kaum Muslimin Sedunia), namun tetap menjadikan realitas setempat sebagai batu pijakan. Mengenai ini, dibuktikan pula dengan keikutsertaan Persis dalam kongres-kongres Al-Islam yang berulang-ulang membicarakan mengenai masalah kekhalfahan, tapi juga ikut bersetuju ketika kongres Umat Islam tahun 1945 mneyetujui Masyumi sebagai partai politik wakil umat Islam yang turut berjuang mengawal dan mengisi kemerdekaan RI.
            Keempat, visi Persis bagi Republik Indonesia.sama halnya seperti pemimpin muslim yang lain. Perjuanngan utama Persis dalam Masyumi adalah untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara negeri ini. Bagi Persis, sekalipun menerima keberadaan RI, namun yang menjadi fokus utama adalah persatuan seluruh kaum muslimin dibawah bendera “khilafah”. Oleh sebab itu, untuk memungkinkan menuju kea rah sana adalah mutlak bahwa Indonesia harus mengasaskan dirinya pada “Islam”. Oleh sebab itu, Persis bersama-sam dengan eksponen  Masyumi lain berusaha sekuat tenaga menjadikan Islam secara legal formal sebagai dasar negara ini. Perjuangan ini terus dilakukan secara konsisten oleh Persis, salah satunya melalui siding-sidang konstituante, hingga akhirnya hasil siding ini digugurkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
                Hingga hari ini, visi Persis tidak berubah, yaitu ingin menjadikan Islam sebagai dasar bagi penyelenggaraan negara ini. Oleh sebab itu, ketika era Reformasi yang amat bebas tiba, maka yang menjadi pertimbangan utama Persis untuk menitipkan idealismenya dalah partai yang memperjuangkan syari’at Islam tegak di bumi Allah.
                Keempat pokok persoalan mengenai Persis dan Politik diatas sudah cukup menggambarkan bagaimana posisi politik Persis yang sesungguhnya. Untuk kondisi politik Indonesia saat ini, visi Persis seperti diatas kelihatannya tidak banyak berubah. Persis tetap percaya akan kewajiban menegakkan kpeemimpinan kaum muslimin secara mondial, hanya saja apabila belum mungkin kearah sana, negeri tempat dimana kita berpijak harus dikelola dan diperjuangkan semaksimal mungkin agar dapat memungkinkannya menjadi jembatan tegaknya kemimpinan Islam global. Wallahu A’lam.


[1] Sebagiannya kini bergabung dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebelumnya, pada saat awal didirikan tahun 1998, bernama Partai Keadilan (PK).
[2] Tujuan politik utama dari kedua gearakan ini (Hizbut-Tahrir dan Tarbiyah) sesungguhnya tidak terlalu berbeda, yaitu tegaknya Khilafah Islamiyah yang beroperasi secara internasional. Hanya saja, Hizbut-Tahrir tidak membenarkan ikut dalam system yang ada (demokrasi) sebagai wasilah untuk mencapai tujuan. Semen tara Gerakan Tarbiyah ‘meng-halalkannya’. Kesamaan tujuan, tapi cara yang berbeda ini ternyata dilapangan justru malah menjadi gap yang sangat dalam diantara kedua gerakan ini. Diantara keder-kadernya saling bersaing-yang seringkali tidak sehat- dalam berbagai lapangan.
[3] Sarekat Islam dalam sejarahnya pernah berorientasi politik dan berubah menjadi partai local Indonesia dengan nama Partai Sarekat Islam (PSI) dan kemudian Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
[4][4] Dukungan Persis terhadap keharusan mendirikan kekhilafahan ditegaskan kembali oleh generasi yang lebih muda tahun 2005 melelui Dewan Hisbah yang mengeluarkan fatwa bahwa wajib hukumnya untuk menegakkan kekhalifahan.